Kisah Pilu Perjalanan Kembali Ke Jakarta

Saya sengaja memberi judul "kisah pilu dalam perjalanan kembali ke Jakarta". Sebenarnya pilunya itu sangat relatif. Namun dalam kondisi tertentu, hal yang saya alami ketika berencana untuk penerbangan kembali ke Jakarta melalui bandara Sentani Jayapura.

Baca juga: Perjalanan pertama ke Indonesia Timur

Supaya tidak ambigu, saya cerita dulu supaya pembaca paham kisah pilu tersebut. Saya ke Wamena untuk urusan pernikahan ponakan saya. Awalnya saya berat memutuskan untuk berangkat ke Wamena karena sedang dalam kondisi Pandemi Covid-19. Namun karena ponakan saya ayahnya yang adalah abang kandung saya sudah tiada, maka saya harus menggantikan sebagai orangtua. Saya kemudian rembuk dengan istri, awalnya kami rencana berangkat berdua karena kedua orangtua dari ponakan saya, yaitu bapak dan mamanya telah dipanggil Tuhan (almarhum). Jadi, sebagai adik kandung dari orangtua ponakan saya, saya memutuskan untuk berangkat. Setelah berunding akhirnya kami memutuskan hanya satu yang berangkat yaitu saya sendiri. Rasanya ganjil, saya mengharapkan istri juga ikut sehingga mendampingi secara lengkap sebagai orangtua dari ponakan saya yang menikah di Wamena pada tanggal 3 Juli 2021.

 


 

Setelah kami memutuskan dan menyampaikan ke keponakan yang hendak menikah, ponakan juga setuju karena memang ada diantara kami berdua yang harus tinggal mengurus anak saya yang bungsu untuk masuk SLTA di DKI. Jadi, istri saya tinggal untuk mengurus segala yang berhubungan dengan pendaftaran siswa baru tahun 2021/2022.

Saya kemudian berangkat ke Wamena. Setelah selesai urusan pernikahan dan mengajar beberapa minggu di Wamena, sayapun meninggalkan Wamena pada tanggal 8 Juli 2021 dengan tujuan ke Sentani. Sebelum terbang dari Wamena ke Sentani, saya harus melakukan tes Antigen sebagai salah satu syarat keberangkatan dengan pesawat dari Wamena ke Sentani seterusnya dari Sentani ke Jakarta.

Hasil tes antigen negatif dengan begitu saya merasa senang karena tidak ada kendala penerbangan dari Wamena ke Sentani. Namun sesampainya di Sentani, hari Sabtunya tanggal 9 Juli 2021 ke rumah sakit untuk tes PCR namun tidak berhasil di tes karena banyak antrian. Oleh karena banyak orang yang sudah antri sebelum hari Sabtu 9 Juli 2021 maka kami yang tidak kebagian nomor antrian harus kembali ke rumah atau hotel bagi mereka yang memilih tinggal di hotel.

Bila sebelumnya, salah satu syarat keberangkatan dengan pesawat adalah tes antigen maka ada perubahan yaitu perjalanan seperti dari Sentani ke Jakarta harus menggunakan tes PCR dan bukan antigen. Jadi saya terkena aturan tersebut pada saat perjalanan kembali ke Jakarta. Oleh karena tes PCR itu salah satu syarat terbang para penumpang pesawat seperti ke Jakarta maka saya harus mengurus tes PCR.

Pada hari Senin 11 Juli 2021, saya ke rumah sakit pada jam subuh karena pengalaman sebelumnya yaitu banyak yang antri untuk tes PCR maka saya pergi pada pukul 05.00 untuk antri. Puji Tuhan, saya mendapat nomor antrian tes PCR. Setelah antri untuk tes, tiba giliran saya untuk di tes PCR. Saya yakin saya pasti negatif jadi bisa terbang ke Jakarta pada tanggal 12 Juli 2021. Setelah tes PCR, kami harus menunggu beberapa jam, informasi yang kami dapat siang hari sudah mendapat hasil melalui WA. Hal ini dimalumi karena pada saat proses mendaftar untuk di tes, nomor hp/wa dicatan dengan tujuan agar kita mendapat info untuk mengambil hasil tes melalui WA . Namun karena tidak sabar, saya kemudian mendatangi rumah sakit untuk cek hasil tes PCR.

Setelah beberapa jam menunggu, ada panggilan untuk saya mendapat hasil tes. Petugas kemudian keluar dari pintu kantos lalu membawa sebuah amplop yang berisi hasil tes PCR. Ia kemudian membuka dan menyatakan kepada saya: Bapak Positif Covid-19. Saya sepertinya tidak percaya karena tidak ada gejala dalam diri saya kalau saya postif Covid-19. Saya kemudian berusaha menenangkan diri. Dan memang saya merasa heran karena kekuatan untuk tegar mendapat informasi itu begiru kuat dalam diri saya. Saya berdiri sejenak kemudian merenung, saya harus ke mana. Ada rasa pilu bukan karena saya dinyatakan positif tetapi pilu karena tidak mungkin saya kembali ke tempat penginapan di rumah saudara saya yang punya anak kecil 3 orang. Rekan itu satu daerah dengan saya, ia seorang yang dalam tradisi Kristen sudah mengalami kelahiran kembali atau pembaruan hidup dalam Tuhan Yesus Kristus. Saya kemudian memutuskan untuk tidak kembali ke rumah rekan saya tetapi ke rumah saudara satu daerah dengan saya dan ia tinggal sendiri. Saya kemudian menyampaikan kepadanya: saya memutuskan untuk tinggal di rumahmu. Iapun setuju dan saya dibawah ke rumahnya untuk isolasi mandiri.

Saya membawa hasil tes PCR itu, saya sengaja tidak menyebutkan nama rumah sakit. Hasil itu kemudian saya kirim ke istri dan seorang ketua di wamena yang memberi waktu kepada saya untuk mengjar di sekolahnya karena ia menanggung tiket saya kembali ke Jakarta. Setelah itu saya mendapat telepon dari rekan saya yang rumahnya saya pakai untuk menginap sebentar sebelum kembali ke Jakarta. Ia menyatakan: "Bapak kembali saja ke rumah, tidak apa-apa. Memang ada virus tetapi sudah lemah dan tidak menular." Hati saya hancur, saya betul-betul pilu karena rekan saya begitu tegar dan memaksa saya untuk segera kembali ke rumahnya. Ia memang punya 3 anak kecil tetapi ia memberanikan diri untuk meminta saya kembali ke rumahnya. Inilah yang membuat saya pilu. Biasanya mendengar orang positif Covid-19 biasanya dijauhi atau tindakan tindakan seperti takut mendekati dan lain sebagainya.

Setelah berpkir sejenak, saya katakan kepada rekan tersebut yaitu saya menginap satu malam dan esoknya saya kembali ke rumah mereka. Saya tetap memakai masker di rumah dan menjalani isolasi mandiri. Tidak ada gejala yang berarti dalam diri saya. Mungkin saya orang tanpa gejala. Memang sebelum berangkat ke Wamena, saya sudah vaksin 2 kali. Oleh karena itu saya memiliki imun yang baik dalam mengatasi virus.

Dengan hasil tes seperti itu saya menjalani isoman beberapa waktu (10 hari) untuk kembali di tes PCR. Kali kedua saya tidak lagi ke rumah sakit yang pertama, saya diantar ke rumah sakit di Jayapura pada tanggal 18 Juli 2021. Hasil tes PCR sama dengan hasil yang pertama yaitu Postif.  Tanggal 21 Juli 2021 saya kembali ke rumah sakit yang sama di Jayapura untuk konsultasi dengan dokter agar mendapat obat untuk Isoman di rumah. Setelah pemeriksaan, dokter menyarankan kepada saya untuk isolasai mandiri di rumah dengan tetap menggunakan masker, cuci tangan, menjaga jarak. Saya diberi sejumlah obat termasuk obat antivirus yang saya harus konsumsi selama 10 hari dan kembali lagi tes lanjutan PCR tanggal 28 Juli 2021. Hasilnya disampaikan pada keesokan harinya yaitu tanggal 29 Juli 2021. Karena jarak Sentani ke Jayapura relatif jauh maka saya minta tolong mantan mahasiswa saya yang mengambil hasil tes PCR yang ketiga. Hasilnya saya dinyatakan Negatif. Dengan hasil itu rekan saya sangat bergembira. Dia menghampiri saya di kamarnya yang saya pakai untuk Isoman dan menyatakan ucapan terimakasih. Ia berkata Puji TUHAN, bapak Negatif. Saya sangat paham suasana bathin teman saya karena selama hampir 1 bulan kami berjuang untuk hasil tes PCR dan terakhir dinyatalkan negatif dan saya boleh berangkat pada keesokan harinya ke Jakarta.

Untuk tiket penerbangan ke Jakarta tidak masalah karena sudah ada pak ketua dari STTA Wamena yang menanggung tiket saya. Ia beserta istrinya sangat membantu saya dalam masa isoman saya karena postif COvid-19 .

Saya pilu dalam perjalanan kembali ke Jakarta karena harus berjuang selama 1 bulan di Sentani. Selalu urusan PP Sentani Jayapura untuk tes PCR dan mengambil hasil Tes. Bayangkan 3 kali saya tes PCR dengan harga @Rp 900.000,00 x 3 = Rp 2.700.000,00. Mengalami positif COvid-19 di dalam perjalanan tentu berbeda dengan Positif Covid-19 di tempat tinggal kita. Pengalaman selama 1 bulan itu menimbulkan pilu perjalanan bahkan mungkin trauma perjalanan ke luar kota karena harus tes PCR. Hasil tes tidak dapat kita prediksi. Saya yang sehat-sehat ternyata hasil tes positif Covid-19. Jadi saya OTG.

Walaupun demikian, pengalaman di atas jangan membuat pembaca takut untuk perjalanan ke tempat jauh dalam masa pandemi covid-19. Namun untuk saya, masih sedikit trauma bila perjalanan ke dearah di masa pandemi COvid-19 dan harus tes PCR.


Semoga bermanfaat

  

SHARE

About Yonas Muanley

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.